Di Eropa Saya Ingat Maubisse di Timos Leste

DILI – PESAWAT mengambil ancang-ancang untuk mendarat. Dari atas udara aku melihat sepotong bumi eropa. Cuma sekejab. Dan roda-roda pesawat pun membentur badan landasan lalu meluncur dengan kecepatan yang semakin berkurang.

Kami mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam, Belanda, april 2005. Dari sinilah kami mulai melakukan perjalanan ke belasan negara eropa. Kota-kota yang kami singgahi terlalu indah. Apalagi saat itu memasuki musim semi. Dimana-mana bunga-bunga bermekaran.

Negara yang kami singgahi antara lain Belanda, Belgia, Luxemburg, Germany, Austria, Swiss, Italy, Vatican, Perancis, Cannes dan Monaco. Di Belanda kami kunjungi pusat pelelangan bunga terindah, serta kampung nelayan Van Dam.

Di Jeman mengunjungi pabrik listrik tenaga angin dan surya. Di Roma lihat menara Pisa, kunjungi pabrik pembuatan mensin industri marmer Breton. Juga mendatangi Milan kota mode, danau Como, Genoa, Florens, serta Venesia kota terindah di dunia.

Di Swiss kami menikmati es abadi di puncak Titlis, sekitar 3000 m dpl. Di Paris kami menaiki menara Eifel dan menyusuri sungai Seine yang membelah kota Paris. Namun yang terindah ketika kaki melangkah memasuki Vatican. Apalagi saat berjalan di Basilika St. Petrus. Hatiku bergetar kencang. Bahagia ku melebihi kata-kata. Saya larut dalam misa dan berdoa di makam Santu Petrus sambil menitikan air mata bahagia.

Maubisse

Namun, sepanjang perjalanan dari satu kota ke kota lainnya saya hanya ingat Maubisse, sebuah kota kecamatan di Distric Ainaro-Timor Leste. Iklimnya nyaris sama eropa. Saya bersyukur pernah tinggal di Maubisse selama satu tahun.

Merasakan dinginnya malam dan embun yang merajam dari detik ke detik.
Lalu satu-satu kenangan Maubisse hadir dalam ingatan. Sore di Maubisse terlalu indah untuk dilukiskan. Kabut turun sampai ke permukaan tanah. Saat bicara ‘asap’ keluar dari mulut. Panorama ini seperti saat nonton liga eropa di musim dingin. Orang bicara, ‘asap’ keluar dari mulut dan hidung.
Panorama cantik lainnya saat saksikan bocah-bocah Maubisse memacu kudanya di tanah lapang. Kuda-kuda itu seolah berlari diatas awan. Kaki kuda tak kelihatan karena tertutup kabut tebal. Inilah nostalgia terindah yang sulit dilupakan.

Dan ketika mentari benar-benar menuruni dinding langit di ufuk barat, Maubisse seolah pelataran ‘sorga’. Sebuah sunset terindah, campuran warna kuning emas, merah dan jingga. Dari Pousada Maubisse, sebuah tempat peristrahatan diatas tebing terjal kita dapat saksikan panorama luar biasa itu.

Dari tembok pembatas Pousada kita seolah sedang melakukan terbang layang seorang diri. Bola mata kita bisa lihat ke segala arah. Ooouuh, betapa indah awan putih berarak beriringan di depan mata. Dari celah-celah awan itu tampaklah hamparan sawah menguning dibawahnya. Anak-anak petani berkejaran di pematang, sebagian bercanda dengan kerbaunya.

Sementara di punggung bukit bunga-bunga kopi mulai bermekaran. Bunga-bunga putih, aroma khas, menyengat. Lalu barisan cemara nan menggoda. Diantarnya para penunggang kuda meliuk-liuk. Itulah sketsa yang tersaji ketika melihat Maubisse dari Pousada. Maubisse, panoramanya sedap dilahap, seolah lukisan kanvas seorang maestro.

Ternyata bukan hanya alamnya nan indah, hewannya pun cantik. Terletak di ketinggian sekitar 1800 m dpl anjing, kuda dan kambing memiliki sosok cantik, berbulu lebat, mirip binatang kutub.
Bunga-bunga Maubise juga terkenal indah. Ros merah, kuning, dll ukurannya lebih besar dari ros di dataran rendah. Bahkan bunga-bunga liar di sepanjang pebukitan terlalu membius bila jadi latar foto selvy.

Oleh karena itu, Dili-Aileu-Maubisse adalah rute perjalaman wisata yang luar biasa indahnya. Tebing, jurang, gunung, persawahan, kebun kopi, serta rumah tempo dulu berarsitektur eropa dengan cerobong asap dan tungku perapian adalah warisan bagi pariwisata Timor Leste. Semoga.( Yoss Gerard Lema)

Share this :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *