Cerita dari Dili (1), Jacob Ximenes: Alam Raya Timor akan Mendukung Renanaku
DILI – SENDIRIAN aku berdiri di sekitar mercusuar pantai Dili.Bola mataku menatap lurus ke pulau Atauro di kejauhan. Pulau kecil yang letaknya dihadapan kota Dili.
Di pulau kecil itulah aku dilahirkan.Darah rahimku tumpah di bumi yang akrab disebutpulau kambing itu. Tali pusar dan ari-ariku di tanamayahku di pulau itu. Betapa aku bangga menjadi putra Atauro.
Di Atauroaku tumbuh sebagai anak nelayan. Birunya laut, bentangan pasir putih, serta batu karangAtauro telah ‘membaptis’saya menjadi nelayan.
Kemampuan berenangku terjadi secara alamiah. Begitu juga keahlian memancing, memasang bubuh atau menyebar jaladan pukat.Bahkan aku mampu menyelam di air dalam sambil memanah ikan besar.
Seperti tongkol, ikan merah, blang kuning, gurita, bahkan kepiting, serta lobster. Lobster dari laut Atauro sangat terkenal, ukurannya besar-besar.
Sebagai anak nelayan saya juga terbiasa berkebun. Saat musim hujan tanah-tanah kosong di sekitar rumah kami tanami jagung, ubi kayu, sayuran, dll. Ternak juga sama. Kambing, babi, ayam adalah hewan yang akrab bagi masyarakat Atauro.
Nostalgia ini bikin aku teringat ayahku, Estevao Ximenes (alm) dan ibuku, Querminda Ximenes (alm). Aku juga ingat kakak adikku. Ingat teman-teman sepermainan. Kalau sudah seperti iturasanya ingin aku berenang seorang diri kembali ke Atauro. Agar bisa merasakan hangatnya dipeluk dan digendong bumi Atauro tercinta.
Namun saat ini aku tidak sendiri lagi. Aku sudah berkeluarga, mempunyai seorang istri cantik, namanya Maria Dolores Lisboa Ximenes.
Pernikahan kami dianugerahi enam buah hati terkasih. Ricard William Lisboa Ximenes, Ricky Manuel Lisboa Ximenes, Alexander Etvan Lisboa Ximenes, Guardiola Jacob Ximenes, Donytha Lisboa Ximenes dan Cristiano Lisboa Ximenes (alm).
Aku sangat menyayangi mereka.Seluruh hidupku ku persembahkan hanya untuk istri dan anak-anakku tercinta. Dalambeberapa subuh terakhir aku sengajabangun duluan.
Dengan penuh kasih ku perhatikan gurat-gurat kecantikan istriku. Aku tersenyum dalam diam. Dia memang perempuan hebat yang sabar dan tabah. Kendati saat ini ekonomi Timor Leste dalam keadaan tidak baik dan usaha suaminya dalam keadaan hampir karam.
Ibarat hidup enggan, mati tak mau. Namun istriku terkasih tetap berdiri tegak di sampingku dengan senyuman terindah.
Setelah puas menatap wajah istriku, aku menghampiri kamar anak-anakku tersayang. Satu persatu kubelai mulai dari si sulung hingga si bungsu nan jelita.
Mereka semua adalah anak-anak yang terlatih tidak manja. Anak-anak yang memahami kondisi ekonomi orang tuanya. Terima kasih Tuhan, ucapku dalam hati. Di ruang tamu aku tersenyum pada potret almarhum anakku Critiano, buah hatiku yang kini di surga. Hanya cairan bening yang bergulir di pipiku.
Dan sore ini, saat mentari menuruni dinding langit di ufuk barat,
saat langit kota Dili ditaburi cahaya merah jingga. Itulah sunset terindah yang baru pernah kulihat.
Dili, ibukota negara Timor Leste itu tampak melankolis. Di kejauhan tampak Patung Yesus yang ada di bukit Tanjung Fatucamadi sekitar bibir pantai Area Branca benar-benar menakjubkan.
Bulu kudukku merinding. Lebih merinding lagi ketika lonceng gereja dari berbagai penjuru kota berdentang-dentang. Mataku nanar, Tuhan seolah berbisik didalam hatiku: ‘Jangan Takut’.
Dan sunset yang indah itu seolah berkata: ‘alam raya tanah Timor pasti mendukung semua rencanaku. Laut Atauro beserta isinya tentu tak akanmeninggalkan aku’.
Sebab kondisi ekonomi negara Timor Leste sejak 2017 semakin tak menentu. Kini ditambah lagi hantaman epidemi virus corona membuat ekonomi dunia lumpuh total. Dan saya sebagai seorang kontraktor betul-betul kelimpungan.Usaha saya dalam keadaan sekarat.(jacob ximenes/yoss gerard lima–bersambung)