Mega Proyek di Timor Leste(3):Terobsesi Pada Migas

SURABAYAONLINE.CO-Awal tahun ini, Parlemen Timor Leste mengubah UU untuk menghilangkan sebagian pengawasan terhadap penggunaan uang dari Dana Perminyakan untuk proyek-proyek besar.

James Scambary mempertanyakan obsesi Pemerintah Timor Leste untuk mengolah cadangan migasnya sendiri di negara itu.

“Sikap yang terasa di Timor Leste yaitu, kami memenangkan perang melawan Indonesia. Kami memenangkan perselisihan dengan Australia atas batas laut, dan Anda bilang kami tak bisa mengerjakan ini,” katanya.

“Jika keberanian dan tekad bisa membangun kilang minyak, itu akan sangat bagus. Tapi tentu saja tidak begitu,” tambahnya.

Ada pula persoalan teknis yang cukup besar, termasuk kebutuhan membangun pipa sepanjang 286 kilometer melintasi laut sedalam 2.800 meter di pantai selatan Timor Leste.

Sebuah survei batimetri AS menyimpulkan bahwa ukuran pipa perlu lebih berat agar bisa menahan tekanan pada kedalaman laut tersebut.

Jika pipa itu bocor, akan sulit untuk diperbaiki pada tingkat kedalaman seperti itu.

Para mitra dalam proyek Greater Sunrise terang-terangan menentang Proyek Tasi Mane.

Woodside Petroleum, operator usaha patungan itu misalnya, menyatakan tidak akan berinvestasi pada pengolahan di darat.

ConocoPhillips dan Shell sama-sama menjual saham mereka di proyek Greater Sunrise karena keraguan mereka atas kemampuan Timor Leste untuk memproses migas di darat.

Namun sebuah laporan untuk Timor Gap menunjukkan bahwa Proyek Tasi Mane akan membuka 12.700 lapangan kerja selama proses konstruksi dan 2.000 lainnya untuk pekerjaan selanjutnya.

Laporan tersebut memperkirakan fase konstruksi kedua akan menghasilkan hingga 12.600 lapangan kerja pada tahun 2028.

Tetapi Scambary menilai Timor Leste masih kekurangan tenaga kerja terampil untuk membangun atau mengoperasikan kilang LNG atau kilang minyak.

“Itu fantasi absolut. Sebagian besar pekerja di sana adalah orang asing,”
katanya.

Warga yang tinggal di sekitar Proyek Tasi Mane sendiri tidak begitu yakin bahwa proyek ini akan menciptakan banyak lapangan kerja.

Salah seorang penduduk Suai yaitu Leonel Amaral yang setuju menjual rumah dan tanahnya demi pembangunan jalan untuk bandara baru.

Sebagai imbalannya, katanya, dia dijanjikan bahwa anak-anaknya akan diberikan pekerjaan di bandara.

“Saya ingin dua anak saya bekerja di bandara karena saya telah menyerahkan tanah saya kepada negara,” katanya.

“Mereka menjanjikan anak-anak kami akan bekerja di bandara. Tetapi sampai hari ini, tidak seorang pun anak saya yang bekerja di sana,” ujar Leonel.

“Kami ditawari 7 dolar permeter untuk tanah kami, lalu mereka menguranginya menjadi 4 dolar. Tapi mereka hanya membayar 3 permeter,” jelasnya.

Warga yang tergusur sekarang tinggal di daerah baru yang dibangun tepat di sebelah bandara.

Penduduk mengakui bahwa Pemerintah memberi mereka rumah baru di sini, yang dibangun oleh perusahaan Australia.

Tetapi rumah-rumah itu, kata warga, lebih cocok untuk iklim Australia yang dingin, dan terlalu panas untuk iklim setempat.

Banyak warga lainnya mengeluh telah kehilangan tanah pertanian yang berharga.

“Mereka kini mengabaikan kami,” kata Leonel.

Bagaimana pun Timor Leste bertekad meneruskan Proyek Tasi Mane, dengan keyakinan negara ini akan menjadi pemenang begitu royalti dari Greater Sunrise mulai masuk.

Timor Gap memproyeksikan laba bersih hampir 45 miliar selama masa proyek itu, meskipun pengembalian laba pertama baru akan terjadi tahun 2030.

Tapu itu sudah cukup baik bagi CEO Timor Gap Francisco Monteiro.

“Mengapa kita berpikir tentang kegagalan?” katanya.

Sebagai salah satu negara dengan populasi termuda di dunia – usia rata-rata adalah 17 tahun – dikhawatirkan memicu pengangguran dalam beberapa tahun ke depan.

“Cara membangun negara ini adalah industrialisasi. Kami tidak bisa hidup seperti sekarang. Jika masih seperti ini selama lima hingga 10 tahun lagi, kami akan mengalami masalah,” kata Monteiro.(abc)

Share this :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *